Anak Petani Kampung

image201207310003Di perkampungan yang indah, subur, makmur, udaranya masih sejuk jauh dari keramaian dan kebisingan terlahir seorang anak dari pasangan suami istri (Emus Musthafa dan Siti Halimah) yang sangat sederhana (1978), ia dibesarkan dengan bimbingan spiritual oleh ibu dan bapaknya, seperti dibimbing dan diajarkan membaca al-Qur’an, praktek wudhu, praktek shalat, dan menanamkan kedisiplinan bertutur kata yang baik, bangun tidur subuh untuk melaksanakan shalat subuh. ia tidak diizinkan mengaji sama orang lain sebelum bisa baca al-Qur’an sama ibu dan bapaknya di rumah. ia senang kalau diajarkan ngaji sama ibunya ketika sehabis maghrib, tapi sangat takut ketika diajarkan ngaji sama bapaknya sehabis subuh karena setiap ngaji pasti diakhiri dengan tangisan air mata, kalau udah nagis karena belum bisa baca baru kelar ngaji. Pada waktu itu belum ada metode cepat baca al-Qur’an, masih menggunakan metode mengeja, jadi agak telat dan susah untuk bisa belajar cepat baca al-Qur’an.

Di usia kelas enam (1990 an) ia baru bisa lancar membaca al-Qur’an, karena ada bantuan pengajaran di madrasah dengan menggunakan metode cepat baca al-Qur’an (IQRO) pada saat itu ada ustadz yang baik hati (Ustadz Wawan) dari Tasikmalaya, tapi sayangnya beliau menyebarkan ilmunya tidak lama hanya lebih kurang setahun setengahan, pada saat itu pula ia dibimbing menghafal al-Qur’an Juz 30 (An-Naba s.d An-Nas), praktek ibadah, aqidah dan akhlaq, bersama Ustad Muhammad Kholiluddin di Madrasah AL-Hasani.

Lulus Sekolah Dasar (SD), ia tidak kepikiran melanjutkan sekolah ke jenjang SMP tapi yang ada di benaknya ia hanya ingin menuntut ilmu di pondok pesantren. ia bilang sama ibu dan bapaknya “ibu dan bapak saya tidak meneruskan sekolah tapi saya ingin ke pondok pesantren”. Kemudian ibu dan bapaknya menitipkan ia ke pesantren. Tiga bulan kemudian masih terngiang di telinga ia ada yang bilang “eh kamu itu bodoh ya, kenapa kakakmu yang perempuan sekolah sementara kamu anak laki-laki gak mau sekolah”. Kata-kata itu selalu jadi pikiran ketika ia di pondok pesantren. Akhirnya ia ambil keputusan untuk melanjutkan sekolah, kemudian bilang sama ibu dan bapaknya bahwa ia ingin melanjutkan sekolah.

1991_an ia masuk sekolah SMP, sementara siswa-siswi yang lain sudah belajar selama tiga bulan ia baru masuk sekolah (menjadi murid baru). Jarak rumah ia ke sekolah sekitar 8 kilometer, ia tempuh setiap hari pergi-pulang dengan berjalan kaki (16 kilometer/ hari), ibunya senantiasa membuatkan sarapan setiap pagi, ia jarang sekali dikasih (bekal) uang jajan, tetapi dengan sabar ia lewati hari-hari yang melelahkan itu. Yang paling berkesan ia dari kelas satu SMP minta sama ibu dan bapaknya minta dibelikan domba untuk diternakan, setiap pulang sekolah ia harus cari rumput buat kambing-kambingnya. Tak kenal lelah memang, kedinginan ketika berangkat sekolah karena pagi-pagi banget ia harus berangkat sekolah, pulangnya ia harus rela kepanasan dan kadang kehujanan kalau musim penghujan tiba. Kepanasan ketika pulang sekolah tidak jadi masalah, masih enak cari rumput buat dombanya namun yang menyedihkan ketika pulang sekolah kehujanan kemudian ia belum punya rumput buat dombanya, ya akhirnya ia harus rela nyari rumput sambil hujan-hujanan (tidak boleh tidak, mau panas atau hujan rumput buat dombanya harus ada).

Selama belajar di SMP ia mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari ibu dan bapak guru serta yang pasti ia memiliki banyak teman. Lulus SMP (1994_an) ia melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. ia memilih Madrasah Aliyah, karena dalam benaknya pasti banyak materi Agama Islam yang akan dipelajari. Di kelas dua Madrasah Aliyah ia dibelikan sepeda sama bapaknya dari hasil ternak domba yang ia pelihara dari sejak SMP, jadi ia tidak berjalan kaki lagi ada peningkatan sedikit heh2………walau capenya ya sama, cuman agak cepat dikit dibanding berjalan kaki (lumayan biasa jarak tempuh satu jam jadi setengah jam). Alhamdulillah ia dari usia SD s.d usia SMA selalu dibimbing dan diarahkan oleh kedua orang tuanya dan guru ngajinya (Ustadz Muhammad Kholiluddin). Banyak ilmu dan pengalaman yang ia serap dari gurunya yang sangat sederhana tapi memberi inspirasi yang luar biasa…………gurunya membekali ilmu Al-Qur’an, Hadis, Fiqih, Tauhid dan Akhlaq.

1996_an (kelas 2 Madrasah Aliyah), ia ikut pesantren kilat di Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Fadhilah, Ciseureuh, Limbangan Garut. yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dasuqi. Selama sebulan ia banyak mendapatkan pencerahan ilmu Al-Qur’an yang sebelumnya sudah diajarkan gurunya (Ustadz Muhammad Kholiluddin). Pada saat pesantren kilat itulah ia belajar Tajwid dan Ilmu Qiro’at (Bayyati, Shoba, Nihawand, Rost, Hizaz, Syika, Jiharkah) bersama santri senior Ustadz Burhanuddin, dari situlah ia mengenal Tilawah (Seni Baca Al-Qur’an). Yang masih terngiang dalam telinganya Apa (KH. Ahmad Dasuqi) pesan sama ia, “Omat lamun geus beres sakola kadieu deuinya nya masantren di dieu”.

Lulus Madrasah Aliyah 1997_an, ia dihadapkan dengan dua pilihan “melanjutkan kuliah atau tidak”. Lagi-lagi gurunya memberi nashisat “kamu boleh melanjutkan kuliah asal terpenuhi tiga syarat”, katanya; “……. 1. Harus punya niat yang baik dari diri sendiri 2. Harus ada restu orang tua, 3. Harus ada bekalnya”…. kalau ada satu syarat tidak terpenuhi kamu jangan kuliah….! Kemudian ia bilang sama ibu dan bapaknya rencana ingin melanjutkan kuliah, alhamdulillah ketiga syarat itu tidak masalah, orang tuanya meyakinkan pasti bisa. Berangkatlah ia melanjutkan kuliah ke Bandung “IAIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG”, Fakultas Syari’ah-Jurusan Jinayah Siyasah (Hukum Pidana dan Ilmu Politik Islam).

Pertama kali ia berangkat ke bandung ia diantar sama pamannya (pertama kali ia menginjakan kaki di Kota Bandung), kebetulan paman ia buka tempat pangkas rambut di Cibiru-Bandung dekat ia kuliah. ia dititipkan sama pamannya pada kakak senior, bersama kakak senior itulah ia mencari Kang Dasep (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan JS), karena amanat dari MAN 2 Garut ia harus menemui Kang Dasep. Kang Dasep inilah yang mengarahkan ia ngambil jurusan apa, fakultas apa, ia sama sekali tidak mengerti.

Selama kuliah di Bandung ia tinggal di Pondok Pesantren “Bustanul Wildan” Tanjakansari-Cileunyi, di bawah Pimpinan KH. Yazid Busthami dan KH. Agus Mastur. Banyak ilmu yang diserap di Pondok Pesantren Bustanul Wildan, yaitu mempelajari kitab kuning (Ilmu Nahwu dan Shorof, Ilmu fiqih, Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis).

Di Pondok Pesantren Bustanul Wildan ia tinggal di asrama (kobong) Darussalam, ia sangat berterima kasih pada kakak-kakak santri senior yang telah membimbing dan mengarahkannya. Ia menghaturkan terima kasih yang tak terhingga pada Mang Nasir, Mang Nana, Mang Edeng, Mang Hanan, Mang Ajum, Mang Aep, Mang Romi, Mang Aziz, Pak Omid, dan teman-teman yang lainnya, mudah-mudahan Allah senantiasa mencurahkan keberkahan untuk semuanya. Amin.

Banyak suka dan duka yang ia rasakan selama di Pondok Pesantren Bustanul Wildan, kebersamaan yang dulu ia rasakan di kobong sampai saat ini belum menemukan lagi bagaimana nikmatnya makan bersama walau dengan lauk seadanya. Patungan beras buat masak, patungan uang untuk beli lauknya walau dengan ikan asin tambah sambal terasi goreng waduh luar biasa nikmatnya. Yang paling berkesan ketika makan agak gede-gedean ketika ada kakak angkatan yang tasyakuran karena telah lulus sidang sekripsi, ya di bilang makan akbarnya santri gitu…Mereka yang sudah lulus sidang skripsi, patungan untuk makan bersama biasa beras, uang untuk beli lauknya (ikan asin, jengkol, sambal plus lalaban dan tak ketinggalan kerupuk), dimasak bersama. Ketika masakan sudah siap saji teras depan masjid dipel sampai bersih, nasi dan lauknya digelar di situ, santri-santri sudah siap ngejejer dengan posisi duduk jongkok siap menyantap makanan, waduuuuuh nikmat beneeer dah….

Sebulan sekali ia pulang dari Pondok Pesantren pamit sama Akang Sepuh dan Akang Anom, biasa kalau sudah kepepet kehabisan bekal walau sebetulnya ia merasa ragu “apakah ema dan bapa punya untuk bekal atau tidak?”, maklum ia anak petani tulen yang washilah rezekinya dari hasil di kebun dan di sawah, apalagi kalau musim kemarau datang ia nyampai di daerah kampungnya kelihatan tanah tandus tadah hujan kering dan berdebu tersinari matahari di siang hari panas menyengat membakar tubuh dan kaki yang berjalan berharap ada sedikit buat bekel di pesanten. Sampai di rumah uluk salam dan cuim tangan sama orang tua (ema jeung apa), mereka sudah mengerti bahwa esok hari anaknya akan pergi kembali mengharapkan bekal untuk nyantri, kalau kebetulan lagi ada rezekinya tidak jadi masalah tapi kalau kebetulan rezekinya lagi kosong, mereka sampai pontang panting ngusahain bela-belain utang dulu sama tetangga atau jual apa yang ada. Yang sangat menyedihkan ketika orang tua bilang “….ini hanya ada buat ongkos, besok atau lusa bapak mau jual opak dulu ke Bandung, nah ntar temuin Bapak di Bandung kalau udah dua hari”. Tetapi ia sangat bangga memiliki orang tua yang tegar seperti mereka, tak pernah mengeluh walau segudang masalah menghampirinya, dan ia selalu berdoa untuk mereka berdua “ampuni segala kesalahan mereka ya Allah, berkahkan umurnya, berkahkan rezekinya, berkahkan ilmunya, dan tempatkan mereka pada maqom yang mulia di sisi_Mu”. Amin.

Di Pondok pesantren Bustanul Wildan lebih kurang lima tahunan, banyak ilmu dan pengalaman, terutama yang masih terekam dalam ingatan ia. Suatu hari ia di ajak pengajian bersama akang Anom (KH. Agus Mastur) ke Braga dalam acara Peringatan Isro Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Ia di minta untuk membaca Al Qur’an (Qari) dalam acara itu. Singkat cerita ia tampil untuk membacakan Al Qur’an, istilahnya demam panggung karena baru kali itu ia tampil dalam acara gede seperti itu, baca Al Qur’an pake mimbar otomatis kan berdiri saking groginya gemeteran sampai ayat yang dibaca lupa, kemudian Mic kesundul mulut sampai jatuh…..mustami’ pada tertawa, waduh makin menjadi awak ngadegdeg. Tapi alhamdulillah kelar juga tuh baca Qur’an, dalam hati selama perjalanan pulang ke kobong “waduh gua udah malu-maluin guru ni (ngerakeun pisan)”. Luar biasa selang waktu yang tidak lama sekitar dua mingguan dari kejadian di Braga itu, beliau Akang Anom (KH. Agus Mastur) mengajak lagi pengajian dalam acara yang sama, saya pikir pasti Akang kaisinan dan gak bakalan ngajak lagi (matakna oge tong suuzhon ka batur), mungkin benar ada pepatah mengatakan “kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”, ia banyak belajar dari kesalahan yang di alaminya tempo hari. Alhamdulillah sampai sekarang kebaikan guru itu sungguh luar biasa, sehingga dari kebaikan guru-gurunya ia pernah menjuarai MTQ Se-Bandung Priyangan, juara MTQ tingkat Kec. Banyuresmi-Garut, juara lomba Adzan Se-Bandung Timur, juara Adzan Radio Rek Garut. ia selalu berdoa ampuni guru-guruku, berkahkan ilmunya, panjangkan umurnya, dan tempatkan mereka pada maqom yang mulia. Amin.

2000-2001 ia mohon izin sama Akang Sepuh mau ngalap barokah ke Pondok Pesantren Qiro’atus Sab’ah (Kudang) Limbangan-Garut-Jawa Barat- yang di pimpin Oleh Ceng Alawi, Ceng Ubus, dan Ceng Mimin. Banyak ilmu dan pengalaman yang ia dapat di Pondok Pesantren Kudang, di antaranya sorogan Al-Qur’an langsung sama guru-guru yang ahli dalam bidangnya, belajar ilmu Tajwid langsung dari kitab-kitab aslinya, belajar murottal, belajar tilawah (Seni Baca Al-Qur’an), dan banyak lagi ilmu yang ia serap di Pondok Pesantren Kudang (Qiro’atus Sab’ah). Dalam tahun yang sama ia ngalap barokah ke Pondok Pesantren Al-Fadhilah Ciseurueuh-Limbangan-Garut-Jawa Barat yang di Pimpin oleh KH. Ahmad Dasuqi (Apa) dan Akang Haji. Kebetulan di Ciseureuh ia mempunyai saudara (Aki Omod dan Nini Icih) semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Amin. bersama Aki omod ia dijajap dititipkan kepada Apa (KH. Ahmad Dasuqi) untuk mondok di Pessantren Al-fadhilah. Alhamdulillah berkat bimbingan Apa dan Kang Haji serta para santri senior, banyak ilmu dan pengalaman yang dapat diserap di Pondok pesantren Al-Fadhilah Cisureuh-Limbangan-Garut.

2002 bulan Agustus ia lulus sidang Munaqosah dan awal 2003 ia pamit dari Pondok Pesantren Bustanul Wildan pulang kampung (saur Mang Edeng mah muqim), Alhamdulillah mulai dari 2003 s.d 2006 ia mengabdikan diri (balik kandang) di Yayasan Kesejahteraan Haji Hasan Arief (YAKHA), Kampung Cimareme-Desa Cimareme-Kecamatan Banyuressmi-Kabupaten Garut. Mata pelajaran yang di ampuh Pendidikan Agama Islam dan pernah mengajar juga PKn (SMP) dan Aqidah Akhlaq, Ushul Fiqh (Aliyah/SMA). Honor yang ia dapatkan dari dua tempat mengajar itu tidak lebih dari Rp. 100.000.- (walau itu bukan satu-satunya tujuan akhir). Bersabarlah para Pendidik ada pahala yang sangat besar yang di sediakan oleh Allah SWT. nanti di akhirat.

Genap usia 25 tahun (6 Juni 2004) ia melangsungkan pernikahan mempersunting gadis pilihannya “Siti Hanipah” anak paling bontot dari pasangan Alm.Bapak Apri dan Ibu Icin. Alhamdulillah dari pernikahannya itu ia dikaruniai tiga anak:
1. Ilma Siti Hafizhah, lahir di Garut, 8 April 2005
2. Ridho Dzikril Hakim, lahir di Garut, 10 Oktober 2007
3. Tsabit Faqih Mubarok, lahir di Bekasi, 21 Juli 2013
Ia selalu berdo’a untuk anak-anaknya “Mudah-mudahan anak dan keturunanku di jadikan anak dan keturunan yang shalih shalihah, ahli ilmu, dan ahli ibadah”. Amin.

Sudah menjadi skenario Allah yang mengatur alam semesta ini; washilah si A Piat (hatur nuhun A), Pebruari 2006 ia memutuskan hijrah ke Kota Bekasi. Kebetulan pada waktu itu ada yang membutuhkan (H. Awing Asmawi) tenaga pengajar di Majlis Ta’lim, alhamdulillah sampai sekarang ia masih setia deprok bersama mereka anak-anak kampung Ps. Kecapi untuk belajar ngejah… Kebanggaan dan kenikmatan yang tak terhingga ketika ia merasakan, meliahat, memperhatikan, dan mendengarkan alunan ayat-ayat Al Qur’an dibacakan yang tadinya dari tidak bisa menjadi bisa, yang tadinya tidak lancar menjadi lancar, yang tadinya tidak mengerti mana bacaan panjang dan mana bacaan pendek, yang tadinya tidak mengerti mana izhar, idgham, iqlab, ikhfa dan lain sebagainya, alhamdulillah dengan belajar yang tekun mereka dapat sedikit banyak mengerti tentang banyak hal. Alhamdulillah semoga mereka mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Amin.

Pasar Kecapi merupakan tempat pertama ia singgah di Kota Bekasi, serasa sudah di kampung sendiri karena orang-orangnya baik-baik. Ia waktu itu tinggal bareng-bareng bersama anak-anak pangkas rambut (A Aminin, A Kulep, Nandar, Aan) lebih kurang 5 bulanan. Kemudian ia pindah ke kontrakan punya Pak Acep/ Ibu Kriting (Persis bawah tower listrik) karena waktu itu istri dan anaknya diboyong ke Bekasi. Di kontrakannya Pak Acep/ Ibu Kriting ia tinggal tidak lama hanya sekitar setengah tahunan, karena waktu itu istrinya sakit kemudian istrinya pulang lagi ke Garut. Akhirnya ia pun pindah ke Rumahnya Ibu Oon/ Pak Jamil tempatnya masih bersebelahan dengan kontrakan Pak Acep/ Ibu Kriting. Ia sangat berterima kasih kepada keluarga Ibu Oon, Pak Jamil beserta Ibu yang telah banyak membantu. Semoga amal baiknya Allah balas dengan yang lebih baik lagi. Amin.

Selain mengajar di tempatnya H.Awing, ia pun pernah mengajar di TPQ Al-Fadhiilah sekitar 1,5 tahun yang dipimpin oleh Ustadzah Encih Rosikhoh. Alhamdulillah banyak pengalaman yang ia dapatkan, terima kasih ia ucapkan kepada teman-teman seperjuangan (Bu Nur, Uni, Bu Syifa), semoga ilmunya berkah. Amin.

Pebruari 2008 washilah dari Ibu Encih Rosikhoh (syukron katsiron ilaiha), ia di kasih kesempatan untuk mengajar di Lembaga Pendidikan Nasional I, Kecamatan Pondok Melati-Kota Bekasi. Pertama masuk lembaga itu ia tidak langsung terjun mengajar tapi bekerja di lapangan di kampus B. namanya dulu SUPER CAMP, sekarang namanya NASSA VALLEY dan Kampus C namanya TRAINING CENTRE. Alhamdulillah ia banyak belajar di tempat itu, ia haturkan terima kasih kepada Bunda Susi, Bu Ayu Drupadi, Pak Supri, dan Pak Bowo yang telah banyak membantu ia, berkat mereka ia mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman. Yang sangat berkesan dalam hati ia “Pertama kerja ia di suruh oleh Bunda Susi (Direktur Operasional LPN I) untuk scaner buku, padahal melihat mesin scanernya juga baru kali itu boro-boro mengopersikannya. Tapi alhamdulillah ada yang ridha mengejari ia (Pak Supri dan Pak Bowo), akhirnya ia dapat menyelesaikan tugas itu. Ia menangis terharu ketika mendapatkan gaji pertama Rp. 250.000,- (ia merasa tidak layak dibayar, karena ia merasa bukan bekerja tapi ia benar-benar belajar di NASSA VALLEY dan TRAINING CENTRE).”

Sekitar 1,5 tahun di NV dan TC kemudian ia hijrah ke Kampus A. Lembaga Pendidikan Nasional I, kebetulan waktu itu ada guru SMA NASIONAL I yang pindah dan akhirnya ia diorbitkan untuk menggantikan posisi tersebut. Mata Pelajaran yang di ampuh adalah Pendidikan Agama Islam (PAI). Alhamdulillah selain di SMA NASIONAL I ia juga mengajar di SMP NASIONAL I sampai sekarang. Ia menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua guru TK-SD-SMP-SMA Nasional I, yang telah membimbing, mengarahkan, memberikan masukan sehingga ia mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman. EXPLORING BETTER OFF.

bersambung…………………

2 Comments

Leave a comment